Semilir angin menampar wajah dengan lembut saat tanganmu menggenggam jemariku. Kita berjalan menyusuri pantai di pesisir pulau itu layaknya pengantin muda saja; malu-malu dengan rona bahagia.
Kamu lihat jejak di tepi pasir laut itu? Yang sepasang besar dan yang sepasang lagi kecil mungil. Tapak-tapak kaki itu mengisyaratkan persahabatan tulus antara manusia dan anjing peliharaannya. Mereka setia saling memelihara. Bukankah cinta sejati memang begitu? Ada keseimbangan antara memberi dan menerima, tulus bersahaja walau ombak atau badai hidup menerpa.
Di ujung sana, bocah-bocah tanggung berkejaran saling mengejar bola, gurau mereka begitu lepas, begitu bahagia, temaram diterpa jingga. Kau lemparkan senyum padaku seraya mencari-cari adakah binar bahagia seperti anak kecil itu berpendar di mataku. Tak perlu kau pastikan itu, sayang. Aku bahagia bersamamu.

Rehat sejenak, kamu duduk di pasir memperhatikan ragam orang lalu lalang. Aku duduk di bale-bale terbuai elok pemandangan, menikmati ramai camar yang berdansa dengan sang Bayu, menikmati debur ombak yang seolah melantunkan tembang kehidupan. Selalu aku temukan damai bersama kepolosan alam. Lama khayalku mengembara, hingga diri ini terlonjak kaget saat mendengar kau memanggil namaku. Ah, jantung ini berdegub kencang menyadari betapa indah sebenarnya tiga huruf namaku itu, asal kamu yang memanggilnya. Sudah menjadi kodrat hati, semua yang biasa bisa menjadi istimewa ketika orang terkasih yang melakukannya. Nilai biasa atau istimewa itu terletak bukan pada perbuatannya tapi siapa yang melakukannya. Betul? Coba bandingkan dibawakan bunga mawar oleh adik dan diberikan kembang sepatu oleh gebetan, mana yang lebih membuat hati mendadak riuh bagai kembang api mekar?
Aku gemetar manakala tanganmumu yang lengket oleh air laut itu mengusap rambutku, merapikannya kemudian memintaku untuk berteriak buncis saat kilatan cahaya tercipta bersamaan dengan telunjukmu membidikkan lensa. Sudah lama aku berusaha memahami, apa maksud ukir senyummu saat mengabadikan tawaku dalam kameramu. Ternyata bahagiaku adalah bahagiamu, tawaku adalah tawamu juga. Aku adalah kamu, kamu adalah aku. Hidup nikah membuat kita tak lagi dua namun satu.

i like this style
Which one? 😉
kok cuma nama Eka 🙂 Nama pasangannya diumpetin yaa hehehe
Hahaha enggak koq, kebetulan aja yang ada fotonya namaku doank 😀
Eka? Itu seperti namaku.
Kenapa hanya nama eka yang terukir di pasir cantik itu? Mana nama lelaki beruntung yang mendapatkanmu, Mbak?
Walo namanya sama tapi kita beda jenis hehehe
Ada koq namanya dia….. ada dihatiku
*gombalunite*
co cweetttt… 🙂
Uhuks 😆
hmmmm
asyik nih… 😀
#pengen, anak babil
Babil? Apa tuh?
Ato maksudnya labil?
memintaku untuk berteriak buncis
Ahahahaha.. lucu juga teriaknya ‘buncis’, hihihi :))
Postingan ini.. sweet bangets dhe, Kaa 😉
Hihi wong londo punya cheseee, kita punya buncis
wah mba, untung namaku juga 3 huruf.. hehheeee 😀
Hola iiiiiiiiiin 😀 hehehe
lebih 3 huruf deh
aku iriiiiiiiiiiiiiiiiiii 😀
Apa kiri?
Aku kanan deh 😛
Bukan hanya apa yang dikatakan, tapi siapa yang mengatakan dan bagaimana cara mengatakannya… Begitukah jeng Eka? 😉
Siiiip, akur deh
kalau sama-sama mendengkur, malam jadi lebih semarak tuh. 😀
Tapi aku gak mendengkur hehe
bikin iriiiiiiiiiiii *nasib yang belum nikah*
😆 cinta2an sih gak harus nikah hehe
gue gak pernah melihat senja, karena tiap senja pasti gue sedang berada di kelas >.<
Kalo wiken kan gak ngajar Brad?
Kalo kamu yang manggil palingan minta duit
Huh 😛
So swiiiitt… di kepala langsung muter Lembayung Bali-nya Saras Dewi. 😀
Tpi cerita saya dibalik sepotong senja agak menyedihkan, mbak… 😦 http://bit.ly/xQbgnP
Hihihi
meluncur ke te ka peh
asik nyaaaa … cuwit cuwittt .. jadi envy .. ahaiiyy 😀
GIGIT jari 🙂
Gigit hotdog. Eh 😛
senja emang bisa dipotong ya? 😛
Bisaaaaa, dipotong terus dimakan.
Huihihi
mellow hellow 😀
pelukan beruang apa ya? (-_-)
Senja itu pernah aku rasakan ketika kami memulai kebersamaan dalam sebuah biduk rumah tangga. Ya, Hampir 10 tahun kami menikah. Lama juga kami tak bertemu senja, sampai akhirnya Pembawa senjaku harus menetap di sana untuk beberapa tahun. Namun, aku tetap bisa menikmati senja itu, walau hanya dari atas genteng rumahku :))))
…cerita saya di balik senja selalu muram.
Saatnya menyambut gelap datang, tak pernah saya merasa senang.
Di kala bulan menggantikan matahari, tak bisa lagi saya rasakan kuatnya sinar matahari.
Ketika binatang malam mulai bangun, tak bisa dipungkiri saya ingin tidur.
*makin gak jelas* 😆
Ejieee ternyata suka ngorok ya suamimu kak? hohoho 😀
aku kapan y bisa bergandeng tangan di waktu senja y???
Indah sekali tulisannya mbak Eka,
menunggu pasangan untuk bisa menjadi tulisan dalam blog seperti yang mbak eka tuliskan sekarang, sweet 😀
fotonya bagus banget ya…..
mba Eka paling bisa deh
bikin jadi pengen hahaha
pengen apa cobaaa 😀
eka artinya tunggal, mungkin ia ingin menjadi the only one di hatinya 😀
kenapa sihhhhh…kalo mampir ke sini slalu pengen punya pacar romantiisss???
secara pacar aku ga seromantis puisi inihhhhhhhhhhhh T__T
aniway busway, sisterrrrr……i miss you!
..
dipantai mana tuh Mbak’E, sunsetnya kereeen..
..
sepotong senja untuk pacarku…
seperti Seno Gumira Ajidarma, mengambarkan senja bagi mereka yang rabun senja.
hmmm jadi pingin jalan berdua di tepi pantai dan tentunya bergandengan tangan dengan soulmate kita…. ^^
Aiiih, jadi makin bertanya-tanya, kaki siapakah nantinya yang akan bersisian dengan kakiku ketika berjalan menyusuri pantai… Tsssaaaah :))
Senang sekali yach kalau ada yang inget kita terus:)
Aaahhh indah mbak kalau dengan suami kan yak *membayangkan punya suami dulu* 😀
menikmati kenyamanan dengan dia..hihihihi
tulisan yang indah,
romantis benerrrr
salam kenal,,semoga sukses selalu…:)
Ikut senang, dengan Cinta kalian yang selalu menggelora. Semoga selalu rukun dan makin bijak dalam menyikapi setiap persoalan ya Ka?
aaaaakkk…. So sweet…. :’) Pintu mana Pintuuuu….
semoga kebahagiaannya tetap utuh dan abadi…..
i like it
wah mantep banget ni cerita tentang pengalamanya mba