Easy Sunday Morning! Yeeay.. Trus enaknya ngapain kita? Sekarang saya mau penuhi janji saya dulu. Tempo hari kan saya cerita tentang Menjelajah Kampung Pecah Kulit yang pada zamannya dulu elit, nah, salah satu agendanya kami mampir ke Gereja Sion atau The Portugeesche Buitenkerk atau Gereja Portugis Baru di luar tembok kota. Saya mau cerita sedikit tentang gereja yang dibangun di tahun 1695 atas perintah Yang Mulia Pemerintah Negeri dibawah wewenang ‘Presiden Gereja’ (kreekestet) itu ^_^.

Di halaman gereja ini ada sebuah makam, yaitu makam ahli bedah Batavia.

Sekarang intip dalamnya yukz 😉
Bangunan Gereja Sion berbentuk persegi empat, di desain sedemikian rupa sehingga tanpa sound system suara bisa terdengar diseluruh ruangan gereja. Zaman dulu kan gak ada sound system yang maha dahsyat ya bow. Jadi memang harus bersiasat betul. Seluruh bangunan gereja terbuat dari batu bata dengan kerangka ramuan kayu ebonite balok-balok besar dan 10.000 tiang kayu dolken yang ditanam dibawah tanah sehingga gedung ini tahan gempa! Did you hear that? Sepuluh ribu kayu maaaan! Beberapa kali kan Jakarta diguncang gempa, namun tidak ada retakan di tembok gereja karena kayu dolken tersebut menjadi peredam gempa. Aaaaaaah arsitek-arsitek dulu memang arif luar biasa. Tidak hanya memikirkan keindahan belaka namun juga keamanannya. SALUT!

Beberapa perabot di dalam gereja merupakan perabot asli dari zamannya. Cihuii! Keren kan? Saya bisa pegang-pegang pusaka leluhur kita ;). Anyway walau sudah berusia beratus-ratus tahun tapi perabotnya masih keren mentereng deh. Beberapa diantaranya adalah :
Mimbar

Kandelaar

Well, pada waktu itu kan gak ada lampu/listrik ya bow, jadi kandelaar ini kalau digosok, dulu akan membantu memantulkan cahaya lilin menjadi lebih terang benderang. Sekarang tempat-tempat yang dulunya dipasangi lilin memang sudah diganti oleh beberapa bohlam kecil.
Orgel

Orgel adalah organ seruling. Zaman dahulu orgel dimainkan dengan memutarkan angin secara manual. Jadi minimal harus ada 2 orang, yaitu yang memainkan angin dan yang memainkan tuts-tutsnya. (Kalo gak mudeng bayangkan harmonika versi besar yah :P) Tapi, kalo sekarang sih udah pake kompresor, bukan angin lagi.

Orgel ini diletakkan di atas balkon dengan disangga 4 buah tiang langsing. Di Jakarta hanya ada beberapa saja gereja yang masih memiliki orgel dan terawat dengan baik. Usianya itu lhooo, 315 tahun! Namun hingga sekarang masih dapat dipergunakan lho. Jika mau mendengarkan alunan orgel ini silakan datang setiap awal bulan alias minggu pertama.

Selama di dalam gereja tersebut saya termangu-mangu. Gereja ini mengajarkan banyak hal kepada saya. Betapa orang-orang dulu dalam keterbatasannya begitu pandai bersiasat memanfaatkan banyak hal sehingga dapat merasakan kemudahan-kemudahan seperti yang kita cecap sekarang. Yah, contohnya tentang bangunan tahan gempa dan desain yang memungkinkan suara terdengar di seluruh penjuru ruangan walau tanpa sound system. Waaah saya benar-benar kagum!

Selain itu saya belajar mengenai toleransi di sini. Coba tebak, dari mana saya tahu semua info-info mengenai gereja ini? Betul, memang dijelaskan oleh Kang Asep Kambali sebagai pemimpin Komunitas Historia Indonesia(KHI), namun saya dan suami juga banyak ngobrol dengan Bapak Tampu, penjaga gereja ini. Pak Tampu telah menjaga gereja ini selama +/- 20 tahun. Pak Tampu bukanlah seorang Kristiani, beliau berasal dari Cirebon. Tapi tahukah kamu? Pada saat kerusuhan hebat tahun 1998 dulu, di saat semua orang melarikan diri dan memikirkan keselamatan masing-masing, Pak Tampu tinggal di gereja. Tanpa memikirkan keselamatannya sendiri, ketika melihat orang-orang berbadan besar beringas hendak membakar gereja, pak Tampu berusaha bernegosiasi, berusaha menghalang-halangi… Berusaha mengulur waktu hingga akhirnya bantuan keamanan dari pemerintah datang dan mengamankan gereja sehingga selamat tidak jadi dibakar. God bless you, pak! Tanpa keberanianmu, tentu kami akan kehilangan salah satu tonggak sejarah bangsa ini.

Ketika beranjak pulang, ada yang sedikit menggelitik mata saya… Saya lihat beberapa penjelajah lain -tidak banyak memang- berfoto dengan gaya nge-DJ dipodium gereja lengkap pake kaca mata itemnya. Tak bisa dipungkiri, saya agak mangkel. For God’s sake though it is a museum but this also a church! Would u show some respect please… Anyhow, Hari Minggu tersebut adalah hari Minggu yang luar biasa! Dengan langkah kaki pendek-pendek karena kelelahan dan kepanasan, kami pun meninggalkan bangunan gereja Sion dengan berbagai macam rasa, antara haru, senang dan (walo sedikit) rasanya koq ya tambah pintar! Aiiiih mau lagi deh jelajah tempat-tempat bersejarah gitu.
Bukankah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya? ^_^
.
.
.
.
.
Hebat benar diriku, di postingan ini gak ada poto diri :mrgreen:. Yeeaaay! ini adalah bukti bahwa daku tidak narsis! 😛
Postingan kurang seru, coz ga ada poto kamunya 😛
Btw, ni gereja emang asli keren, salut deh sama pembuat dan pada para pengurusnya. Orgel yang udah segitu tuwirnya aj masih bisa dipakai / dimainkan.
Mantap 😀
Salam.. .
Hahaha
Gue gak mau merusak keindahan gereja dengan poto gue bow 😀
hihihi..iyaa tumben ga ada foto narsisnya mbak.. 😀
wuihh mimbarnya keren banget..
Hihi biar fokusnya ke gerejanya, bukan ke guenya 😛 hehe
Embeeeer memang mimbar ini keren deh ah
Setuju, bangsa yang besar harus menghargai sejarahnya, karenanya salut dengan Kang Asep yang nggak bosan-bosan mengajak generasi muda untuk mengenal sejarah 🙂
Tulisanmu mantaf, semakin bertambah pengetahuan tentang Gereja Sion.
Setuju, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya, karena itu salut dengan Kang Asep yang nggak bosan-bosan mengajak generasi muda untuk belajar sejarah.
Nice posting, Eka, jadi makin bertambah ilmu tentang Gereja Sion.
salam hangat
Thank u mbak 😉
Aku sepertinya juga mulai suka deh sama sejarah bangsa kita ^_^
Jaaaahhh… Belum pernah ke sini. Kapan aku bisa ke siniiii? *garuk-garuk lantai*
Kelarin skripsimu dulu sayang… 😉
gak ada foto narsis = hoax visit 😛
Ntar gue tag di pesbuk deh..
Puas? 😛
Gerejanya cantiiiik. Salut dengan Pak Tampu yang mau membantu mengamankan gereja padahal dia bukan orang kristiani. Terharu deh.
Oiya, aku pernah masuk di gereja yang dekat Gambir. Gereja Imanuel kalau nggak salah namanya. Itu juga cantik banget. Waktu itu ke sana saat menghadiri pernikahan temanku. Keren banget detail dalam gerejanya!
Iya mbak namanya gereja Immanuel, aku malah belom pernah kesana 😛
Will do someday! 😉
uwaoooo.. gereja ini ada di P. JAwa ya? Belanda sekali… oh ya, Mbak Eka, nanya apa yang mau dibengkok-in? Saya tau jawabannya…
Your heels from one of your high heels shoes… 😀
Huahahahahahaha
Iyaaaa bener banget tuh! High heelsnya dipatahin haha
Thanks dear 😉
wah seru loh mbak ka… itu namanya orgel ya? lucu bgt.. masih bisa gitu? kandelaarnya waktu itu di cobain bisa juga gak mbak ka?
Kandelaar sama orgelnya bisa digunakan semua ^_^
Udah renta usianya tapi masih bisa dipake 😛
Eh lucu dimananya coba nama orgel itu?
mirip Gereja Blenduk di Semarang (wajib ke sana kalo mampir Semarang ya), mulai dr arsitekturnya sampai orgel dan mimbar buat pendetanya….
keren….jadi pengen kesana 🙂 (uda bosen soalnya sama Blenduk) hehehehhehe
anyway 🙂 makasi ucapannya di postinganku bu guru (sbenernya masih jd guru gag sih? soalnya postingan wktu itu katanya CPNS?) 🙂
Aku belom pernah mampir ke Blenduk.
Semoga kalo pas ke Semarang sempet singgah hehe
gereja ini masih bagus banget dan masih difungsikan ya,
walaupun luarnya tidak terlalu megah tetapi interiornya keren ya
Iya mbak, dari luar tuh ya begitulah 😛
Pas di dalemnya kereeeen
Keren, Ka! Aku menikmati postingan2mu soal heritage.. kaya konten!
Eh iya soal pedang patah itu mengingatkanku pada simbolisasi paus yang meninggal.
Setiap paus memiliki cincin tanda jabatan dan setiap dari mereka meninggal, cincin mereka dipecahkan sesaat setelah dilepas dari jasadnya…
Waaah baru tau bahwa cincin tersebut dipecahkan..
Kirain yah diwariskan ke penerusnya gitu..
Yeeeay ada yang seneng postinganku 😉
nyimak dulu aja..
bangunan jaman dulu lebih memperhatikan keamanan dan artistik bangunan dibandingkan bangunan jaman sekarang…
Setujuh 🙂
Hei gereja ini letaknya di mana? Isinya mirip Gereja Blenduk di semarang. Tapi bagian luarnya beda. Masih terawat bagus ya?
Gereja ini lokasinya di Kota Tua Jakarta, seputaran Glodok gitu 🙂
Keren abis emang arsitek-arsitek dulu, tak akan lekang ditelan zaman 🙂
Ide2 kerennya itu dapet dari mana ya para arsitek tersebut?
Kantong kolektenya kok lucu ya. Kalo diedarin dipegang sisinya dua-duanya gitu?
Hmm, jalan-jalan ke gedung bersejarah emang asyik ya. Foto yang didapet bagus-bagus.
Itu ikut tournya Kang Asep ya? Jadi pengen. Tapi libur besok pengen ke Garut akhirnya. 🙂
Garut? Weeeh aku pernah ke sana ke tempat belanjanya siy 😛
hihi
kerajinan kulitnya bagus2 deh Nik 😉
tumben! tapi tetep belum bisa dibilang bukan bukti narsisme xixixi
paling juga ada, cuma diumpetin hayoooo
btw, rajin yaaa …. masih mau mampir ke museum2,
aku udah lama banget engga, sekali2nya dulu doang ikutan batmus 😀
jadi pengen lagiii 😀
Hihih bener! Aku umpetin potonya 😛
Yuks ke Museum bareng yuks 😉
harus dilestarikan ya yang kayak begini…
Harus banget!
Keren gilak soalnya dan bersejarah (itu yang paling penting sih)
wah sayah menjelajahi alam, eka malah habisin waktu masuk keluar tempat bersejarah.. kerennnn.. jadi inget jalan2 habis sumpa pemuda dulu 😀
Hihi kamu memang cocoknya keliling gunung sesuai sama umur 😛
eh? Hahaha
Pernah disuruh guiding disini jaman sekolah dulu sampe harus ngubek-ngubek perpus demi melengkapi pengetahuan ( cieehh.. pengetahuan ) tentang sesepuh yang satu ini. Napak tilas yang menyenangkan yah jeng barengan IndoHistoria. Kapan gitu ke kampung si pitung? 😛
Aku belom pernah ke kampung si Pitung jeh
*masukin agenda* 😀
wahhh piano nya gede amat. dan tua amat yah. harus pake angin yah ternyata. hmmmm antik banget yah dan terawat.
Embeeeeeeeer geude banget! 😀
wow gede pisan dan megah gerejanya
ehh ini disebelah mana ka?
Di Kota Tua bow.. ke arah utara kalo dari stasiun Beos, gak nyampe 500m deh
bangunan kuno itu bagus ya… beda sama bangunan baru… rasanya gimana gitu… kayak masuk ke masa lalu…. tapi kokoh-kokoh bangunannya, bukan cuman indah dipandang mata saja…
waah keren ceritanya, jadi kaya ikut berada disana hehe
saya jadi kepingin masuk ke sana mbak Eka. Terima kasih atas liputannya mengenai Gereja Sion. 🙂
ini jadi salah satu kekayan budaya, ya 😀
Ornamennya keren ya… Hi-Tech banget gerejanya
Di daerah saya juga ada gereja Sion. Cuman biasa saja… seperti gereja2 protestan lainnya.
Wah bagus Gereja nya, harus dirawat neh, kalo perlu jadi cagar budaya biar ga ada yg ngerusak
*some links removed*
that’s why, aku gak sependapat kalo museum disebut dengan tempat wisata. museum adalah tempat pendidikan, dan seharusnya diperlakukan sebagai tempat pendidikan. kita gak bisa seenaknya bertingkah laku di museum (apalagi yang merangkap fungsi sebagai tempat ibadah, misal candi).
waw….
artikel yang bagus nona maniss…..
di tunggu yahh jalan jalan nya yg lain…
mampir yah…
http://mollucasdesign.wordpress.com/