Tentang Pernikahan

Disclaimer:
Sebuah postingan panjang yang sebaiknya dibaca dengan seksama untuk menghindari kesalahpahaman. ^_^
Mobil mungil berwarna biru merayap di aspal hitam sementara semburat jingga di langit Jakarta kian pekat menandai datangnya senja. Saya sibuk mengkoordinasikan gerak tangan dan kaki guna mengatur laju roda yang kecepatannya saat itu sepertinya kalah dari siput paling lelet sekalipun. Macet. Tapi walau begitu, sore itu indah. Seorang kawan menemani. Bercerita, berceloteh dengan sepenuh rasa seolah tak habis saja bahan obrolan. Mulai dari kisah mantan pacar hingga jejak hidup di kota-kota lain. Semua mengalir begitu rupa, tanpa ada sekat, tanpa ada rasa takut. Dan ketika kami kelelahan, jeda sesaat pun terbuat. Lalu, pikiran kami pun asyik mengembara dalam lautan kendaraan besi. Tak lama kawan yang duduk disebelah kiri bertanya takut-takut…
“Mbak, apakah mbak mengalami proses penyesuaian diri dalam pernikahan?”
Pertanyaan tersebut terdengar enteng, tapi sebenernya dalam. Sangat dalam! Saya pandangi seraut wajah lonjong yang terlihat manis dengan ikal panjang rambutnya. Mata bulat besarnya mengerjab-ngerjab. Menanti jawab! Saya bingung! Sungguh saya bingung. Saya tersenyum kecut, antara ingin berkata-kata tanpa topeng atau menjawab dengan lembut manis penuh pencitraan.
Jika boleh jujur, ketika memasuki dunia pernikahan segala macam perasaan campur aduk, antara bahagia, bingung, kaget, macem-macemlah. Pantaslah jika orang-orang mengatakan bahwa menikah itu adalah suatu langkah besar dalam kehidupan. Saya merasakannya sendiri. Tiga bulan pertama sungguh indah, lha gimana gak indah? Biasa melakukan banyak hal sendiri eeeh ternyata sekarang berdua. Semandiri-mandirinya seseorang, percaya deh ketika ada yang bertanggung jawab terhadap kehidupannya maka rasanya senang!
Gigling at any matters 😀
Biasa bengong waktu nyetir sendirian ke kantor, sekarang selain disetirin bisa ciuman di mobil dan bikin sirik orang lain diskusi banyak hal. Dulu lajang mesti ribet sendiri ngurus KTP, SIM, Paspor sendirian, sekarang udah ada Abang yang sigap berhadapan sama birokrasi. Ada yang malak pas begitu? Si Abang siap pasang badan dan kita tinggal tenang.
Lalu jika malam menjelang, tidur pasti dipeluk hihi :mrgreen:. Entah perempuan lain, tapi saya selalu merasa nyaman berada di dalam hangat pelukan suami. Tangan kokoh itu seolah menghantarkan perlindungan yang berkata bahwa apa pun yang terjadi, everything’s gonna be okay. Dan benar, ada banyak masalah yang rasanya lebih enteng dihadapi bersama dukungan pasangan. 😉 Gampangnya sih, dua tali lebih kuat dibandingkan hanya satu tali kan?
Bahagia juga soal finansial. Well, saya dan suami termasuk DINK. Itu lho Double Income No Kids yet 😛 Gak perlu dijelasin lagi soal ini kan yah? 😉 Hehe.
Ya, ada banyak sekali kebahagian-kebahagian pernikahan yang kami cecap. Gak percaya? Baca deh kisah-kisah cinta saya dan suami di Love Story. Anw, kesenangan-kesenangan  tersebut tidak melenggang kangkung sendiri. Ada konsekuensinya! Ada tanggung jawab baru yang saya emban seiring pergantian status dari nona menjadi nyonya. Ketika single dulu, pulang kantor saya bisa nonton serial TV kesukaan saya atau ngibrit kongkow kemana pun saya mau. Sekarang enggak, ada suami yang harus diperhatikan.
Belum lagi kesepakatan akan acara-acara apa yang dapat kami datangi atau tidak. Dulu saya bisa seenak perut memutuskan semuanya sendiri. Sekarang, karena menghormati suami (bukan karena takut) maka saya selalu minta masukannya terlebih dahulu. And believe me, ada waktu-waktu segala macam kesepakatan tersebut membuat saya lelah.
Ah tapi itu adalah hal-hal kecil saja. Itu bisa dikompromikan asal komunikasi bagus. Yang susah adalah penyesuaian kepribadian. Saya ingat, saya pernah menangis di ujung kamar karena saya kaget dengan kebiasaan yang ternyata adalah karakter utama suami saya. Dulu ketika pacaran, karakter tersebut tidak terlalu menjadi masalah, tapi setelah menikah ternyata hal tersebut dapat menjadi duri yang menusuk-nusuk hati sampe perih banget. Waktu itu rasanya pengen teriak… Aaaah kenapa beginiii????
Kalo gak ada yang ngalah ya ribut deh 😛
Belum lagi ada banyak kompromi soal tanggung jawab baru sebagai istri. Saya pernah complaint bahwa kenapa semenjak menikah saya kehilangan diri saya? Sudah segitu longgarnya suami membebaskan, tetap saya merasa kehilangan sebagian dari diri ini. Pernah saya meneteskan air mata perih karena saya rindu, rinduuuuuuu sekali dengan diri saya yang dulu, dengan diri saya yang telah 27,5 tahun saya kenal (saya menikah di usia itu). Yang bebas banget. Yang minggu pertama ada di Surabaya, minggu kedua di Yogya, minggu ketiga ada di Manado, pokoknya jalaaaan terus.

Lalu, apakah menikah itu tidak bahagia?

Hahaha. Itu pertanyaan yang saya dapatkan dari temen-temen saya yang masih lajang dan saya sempat kesulitan menjelaskannya 😀 Yang single, jangan jadi takut menikah setelah baca artikel ini yah :D. Well, seperti saya yang telah katakan tadi pernikahan itu memiliki kebahagiaannya sendiri yang berbeda dengan kebahagiaan lajang. Butuh kesiapan mental melepaskan kenyamanan masa lajang dan berganti dengan tanggung jawab yang  melekat bersama kebahagian-kebahagian pernikahan. Yang sering jadi masalah tuh, orang-orang cuma mau bahagianya aja tanpa menjalankan peran dan tanggung jawab sebagai istri atau suami. Yaaaah, kalau begitu mah dijamin berantem terus deh.
Anyway, walaupun hidup nikah penuh penyesuaian yang sometimes bikin hati saya berdarah-darah, tetap saja, kalau disuruh memilih saya akan dengan mantap memilih untuk menikah ^_^. Kenapa? Ya, karena bahagianya memang beda 😉
Kalau sekarang diantara sobat CE yang wondering, menikah koq gini sih? Apa saya aneh? Kayaknya yang lain menikah dan bahagia deh, kenapa saya merasa lelah? Well, I tell you baby, “you are not alone!” Saya pernah ada di masa seperti itu koq. Saya juga pernah pusing banget pada masa penyesuaian. Dan saya yakin (seyakin matahari terbit di timur) ada begitu banyak istri di luar sana yang merasakan hal yang sama. Cuma mungkin mereka gak berani bilang aja :mrgreen:. Entah saya kerasukan apa sehingga bisa jujur begeneh :D.

Lalu gimana? Apa yang bisa dilakukan apabila merasa lelah dalam penyesuaian hidup nikah?

Jawaban saya akan terdengar membosankan tapi inilah yang membawa saya pada dimensi baru hidup nikah dimana pengertian dan kasih sayang menjadi dasar. Intinya ngalor ngidul saya bicara itu, pernikahan menurut saya adalah sekolah kehidupan yang sebenarnya. Yang diperlukan adalah semangat untuk terus mau belajar. Karena di dalam pernikahan kita akan belajar mengasihi penuh tanpa syarat, belajar memaafkan dan juga belajar untuk saling memberi. Lelah? Capek hidup begitu? Kalau begitu coba cek hatimu. Menurut saya, jika hati ini lembut dan basah akan kasih Allah maka segala bentuk penyesuaian tersebut akan mudah kita lakukan karena kita mengasihi pasangan dengan kasih dari Tuhan.
Love
Kasih dari diri sendiri, akan habis dimakan kekecewaan, kasih yang timbul dari diri sendiri akan kering disedot oleh ketidakpuasan. Tapi kasih dari Tuhan? Itu adalah kasih yang diperbarui setiap harinya. Kasih dari Tuhan melembutkan hati sehingga kita bisa memiliki respon logis yang tidak emosional akan setiap laku pasangan kita. Yang artinya, setiap kesulitan tentu dapat dibicarakan sehingga bermuara pada penyelesaian.  ^_^
Sebuah tulisan untuk kawanku si rambut ikal dengan mata besarnya dan adikku yang ada di Kalimantan sana 😉 Enjoy your marriage life dear, it is sweet when u think, feel and act as it is sweet. Happiness is just a state of mind.

83 respons untuk ‘Tentang Pernikahan

Add yours

  1. Ingin segera sekolah kehidupan sebenarnya. 😳
    Cerita yang panjang, dan masih banayk cerita hidup yang akan tercipta.
    Semoga rasa ‘manten anyare’ terus terjaga 😆

    1. Amiiiin semoga rasa pengantin baru itu terus terjaga hehe 😉
      Btw, udah baca postingan ini and tetep pengen cepet2 masuk sekolah kehidupan?
      Wah heibat!

  2. ah, menikah. saya pernah menulis bahwa tak ada keluarga yang tak punya masalah. bahkan seorang lajang pun bermasalah dengan dirinya sendiri. bagaimana tidak bermasalah ketika menyatukan 2 jiwa dlm 1 tujuan. bukankah disitulah letak hidup sebenarnya?
    percayalah, masa pacaran adalah masa kamuflase dan sandiwara. disaat itu pula, rasa toleransi mencapai puncak tertinggi, semua serba maklum terhadap perilaku buruk dan kesalahan yang dilakukan pasanganya. simpel, semuanya atas nama cinta.
    ketika menikah berumah tangga, keluarlah perilaku asli dengan jujur bersikap dan berkata apa adanya terhadap pasangan. disaat itulah kita mulai belajar dan memahami, siapakah sebenarnya pujaan hati yang telah kita pilih ini. menyesal dengan pilihan? oh no, kamu akan mendapatkan pilihan yang sama terhadap orang lain. tindakan terbaik adalah dewasalah.
    kamu tidak akan mendapatkan sisi baiknya pasanganmu, siapa pun dia. tapi terimalah dia sbg 1 paket, kebaikan dan keburukan. dan itu butuh proses, itulah penyesuaian. dan disitulah letak kebahagian pernikahan.

  3. engg
    belum nikah ,belum tau bagaimana nantinya
    tapi yg saya percaya.. menikah itu ga hanya saya dan ‘dia’
    tapi juga keluarga saya dan keluarganya..
    saya jadi punya dua bapak dan dua ibu… 🙂
    yah meski jalan menuju kesana masih lama sepertinya 🙂

  4. setiap pilihan (termasuk menikah atau melajang) pasti ada plus minus nya.
    tapi menurut gua sih, tetep lebih banyakan senengnya setelah menikah daripada pas masih lajang. hehehe…

  5. “It is sweet when u think, feel and act as it is sweet. Happiness is just a state of mind.”

    setuju sama kalimat ini mba…. gak usah soal kehidupan pernikahan… kalau kita bawaannya gak puas, iri sama kehidupan dan kebahagiaan orang lain, ya akhirnya selalu ngerasa nelangsa… padahal belum tentu yg kita pengenin itu indah… bisa jadi orang lain juga iri sama kehidupan yang kita jalanin,,,

    *hugs* senangnya mba Eka telah menemukan belahan jiwa…. dita kapan yaaa… 😀

  6. happiness is just a state of mind.
    Kayaknya itu memang motto marriage life. Kalo ga gitu kita bisa merasa terjebak dalam suatu pernikahan 🙂

  7. aku terharu baca postingan ini, jadi inget dulu pernah chatting sama mbak eka soal marriage. Bahkan tutup pasta gigi yang lupa dipasang kembali atau handuk yang ditaruh sembarangan, bisa jadi pemacu pertengkaran di pernikahan.
    So, inhale, exhale, no need to be hurry.. 🙂 🙂

  8. Membaca tentang ini, langsung berkecamuk pikiranku dek, tak menyalahi takdir masa lalu namun semakin introspeksi atas kegagalan.
    Great post 🙂

  9. Kadang saya lelah sih… tapi benar katamu, hapiness itu state of mind… tapi state of play adalah KESABARAN… SABAR DON SABARRR :))

  10. yap…
    mau pernikahan yang bahagia, kita harus mengusahakannya. tidak akan terjadi begitu saja.
    mengasihi tanpa syarat (seperti yang pernah kutulis di twitter ku), itu dia yang terutama menurutku kak.
    kasih menutupi segala kekurangan. tanpa kasih, semua akan sia-sia 🙂 sekian 🙂

    mauliate godang kaaaaak ^__^

  11. kalau menurutku pernikahan itu situasi yang unik, ada cinta, sayang, kangen, rindu, sebel, benci semua jadi satu tapi semua itu memang kehidupan yang harus dijalani dan satu yang pasti menikah itu adalah ibadah asal dijalani dengan segala keiklasan semua akan terasa indah….

  12. Ada orang bilang pernikahan itu kayak benteng pas diluar orang pengen masuk, pas masuk orang pengen keluar, tapi ngga gitu juga kali yang namanya benteng kan ada pintunya, cuma harus minta izin ama yg jaga pintu…he..he..
    Kayaknya semua orang yg nampaknya bahagia dan mesra dengan pasangannya pun punya masalah, oma opa yg puluhan tahun bersama juga masih dalam proses penyesuaian dan kadang berantem juga. Jadi jangan karena masalah kecil lantas mengambil keputusan besar berpisah, kecuali masalah itu udah ngga bisa ditolerir lagi seperti perselingkuhan atau kekerasan fisik. Bener kok seperti kata lagu Two betten than one

  13. Aah, adem sekali setelah membaca postingan ini setelah sebelumnya beberapa kali dibayang-bayangi oleh cerita-cerita pernikahan yang tak bahagia. Memang mesti tawakkal ya, mbak… Dengan siapapun yang menjadi pasangan nanti. 🙂

  14. Apalagi jika pernikahan tak seiman, lebih complicated lagi. Maka kembali ke komitmen semula, menikah untuk apa dan mau ke mana? Sebelas tahun sudah saya lalui, banyak duri dan kerikil, tapi pelangi dan matahari tetap hadir 😉

    Percayalah, menikah itu indah 😀

    (kok jadi curcol)

  15. Kalau aku sih tetep pengen nikah.
    Meski tahu bahwa akan ada sederetan kebahagiaan sekaligus masalah yg datang seiring perubahan status kita. Tapi seperti mbak bilang, itulah sekolah kehidupan yang memang mesti kita jalani dan ambil pelajarannya

  16. Tema tentang pernikahan dengan segenap pernak-perniknya itu nggak pernah ada habisnya ya, Ka.. Selalu ada saja yang bisa di-eksplor untuk dikisahkan ulang dengan berbagai versi 😀

  17. suka banget tulisan ini…
    soal DINK.. sama juga.. double income no kid yet 🙂

    salah satu kebahagian menikah adalah punya tempat berbagi. berbagi kebahagiaan maupun kesedihan. itu yang paling penting… di saat pulang, ada yang nungguin… saat sakit ada yang ngerawat.. ah banyak deh… and I’m very happy with my marriage.. alhamdulillah.. no matter what…

  18. parikan jawa ada yang bilang menikah itu manisnya sak klentheng (biji kapuk) tapi pahitnya sak rendeng (musim penghujan).
    meskipun diawali dengan pacaran. tetep saja masa pertama menikah selalu ada hal baru yang dulu tak terlihat sekarang terbuka semua muanya…
    lelah? tetapi indah dengan semua ceritanya. menerima dan meyakini apa yang kita miliki adalah anugrah terindah merupakan jalan mudah untuk menjadikan pernikahan itu menjadi perjalanan yang menyenangkan. perjalanan yang akan menjadi kisah yang layak untuk diceritakan.. kelak buat anak cucu 😀

  19. I just love it…yes that’s it, love it.
    Thank you for give us (bride & groom wanna be) such a new perception of MARRIAGE sizt’
    emmm..ndak takut lagi dgn yg namanya ‘NIKAH’, *nah lho…* 😀

  20. aku pun berkata sama ketika adikku mau menikah : selamat memasuki sekolah kehidupan yang sebenarnya.

  21. dan pernikahan juga akan lebih marak dengan kehadiran si kecil. Tanpa dia, akan sulit orang mempertahankan pernikahannya. Byk pasangan Jepang yang divorce karena tidak ada lagi “perekat” baru. Karena namanya manusia, pasti akan berubah, dan akan dihinggapi kebosanan.
    Tapi semua kembali lagi ke orangnya sih 🙂

    EM

  22. thanks sharingnya kak..
    aku 100% agree dengan statement di paragraf terakhir kak (ih,, kayak lagi belajar bahasa indonesia deh :P)
    Quote: “Tapi kasih dari Tuhan? Itu adalah kasih yang diperbarui setiap harinya. Kasih dari Tuhan melembutkan hati sehingga kita bisa memiliki respon logis yang tidak emosional akan setiap laku pasangan kita. ”
    My mom also ever told that to me..
    Kadang masih belum kebayang sih bagaimana kehidupan pernikahan itu. Tapi semoga suatu saat ketiga saat itu tiba, aku dimampukan menjalaninya kak.. Thanks kaka..

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Atas ↑

%d blogger menyukai ini: