Setiap terang bulan bapak selalu duduk terpekur memandangi langit melalui beranda rumah. Malam ini pun tak terkecuali. Tak diindahkannya ajakku agar masuk ke dalam. Diusianya yang sekarang aku cemas paru – paru tuanya itu tak kuasa menahan dingin angin malam. Belum lagi rokok kretek yang selalu menjadi karibnya. Memperparah keadaan saja.
Sekali ini pun jawabnya tak berubah saat ku pinta kembali beliau untuk pindah ke dalam.
“Jangan kau ganggu aku Duma”
Hanya itu.
Dan sesudah itu ia seolah tenggelam dalam kepulan asap kreteknya. Dunianya yang tak tersentuh. Bahkan oleh aku – anaknya.
Esok harinya lakon bapak di depan beranda rumah itu ia tekuni lagi. Lakon yang telah ia jalani selama 2 tahun terakhir sepeninggalan omak. Tak dipedulikannya ladang kami, tak dihiraukannya pula kebun sawit kami. Kami anak-anaknya yang tak pandai berladang ini harus mengurus itu semua. Mulanya ku pikir paling lama 3 bulan saja bapak akan duduk diam seperti itu. Tapi… hingga sekarang bapak lebih memilih memandangi canda burung gereja di dahan daripada berbicara denganku.
Sia – sia bapak tua datang dari Samosir untuk menghiburnya. Sia – sia namboru atau bahkan tulangku datang mangapuli. Tak ada satupun yang mampu menembus dunianya. Mata bapak tetap kosong. Sekosong jiwanya.
Bapak…
Walaupun kasat mata ia ada bersamaku namun entah dimana jiwanya. Hilang.
Aku tak tahu.
Yang dipikirkannya hanya omak dan boru siakangannya yang tak pulang – pulang.
Ya, boru siakangannya. Lima tahun lalu kakakku itu pergi mengejar impian. Ke Jakarta katanya. Omak tak setuju tapi bapak mendukung. Hiburnya ke omak:
“ Tak apa, disanapun ia tinggal dirumah amangborunya. Galaknya amangborunya itu. Pasti ia tak bisa macam-macam”.
Katanya kemudian pada kakakku:
“Baik – baik kau di Jakarta boruku. Biar kau buka jalan untuk adik-adikmu. Biar Sihar, Togar dan Duma kuliah di Jakarta pula nanti. Aku tak mau anakku hanya melihat ladang saja. Harus jadi orang besar kalian nanti”
Begitulah, kakak pergi ke Jakarta bersama dengan 1 kebun sawit kami sebagai bekalnya. Binar mata bapak penuh harap saat melepas kakak.
Manusia boleh berencana tapi takdir berbicara lain. Angan bapak kandas tatkala setahun kemudian kakak bilang ia mau mangoli padahal belum tamat pula kuliahnya.
Pahit.
Tapi yang lebih membuat bapak dan omak murka hingga tak sepatah katapun keluar, tatkala melihat calon hela.nya itu.
Melalui sinar matanya aku tau omak berang bahkan bapak sudah sedia parang. Tapi apa daya, pria pilihan kakak dikawal 8 orang bersenjata.
Kulihat bang Sihar dan Bang Togar pun sudah merah menahan amarah.
Ah kakak… betapa beraninya kau bawa pulang pria berseragam.
Tak ingatkah kau sumpah bapak dulu?
Bahwa tak akan dibiarkannya keturunannya menikah dengan siapapun yang berseragam. Terlebih seragam loreng.
Tak ingatkah kau kak, ompung kita dianiaya, dinjak-injak tentara hanya karena memberi minum laki-laki terluka dari kampung seberang. Hanya karena air, ompung dianggap anggota gerakan terlarang dari provinsi perbatasan hingga mati ditembak tanpa diadili dianggap layak baginya.
Kak, sakit hatiku melihat kesedihan bapak. Jiwanya habis digerogoti rasa bersalah memberikan ijin kakak ke ibu kota. Omak pun tak kuasa menahan pilu hingga ajal cepat menjemputnya. Itupun kau tak pulang, bahkan pusaranya pun belum sekalipun kau bersihkan.
Pahit nian hati bapak.
Sudah ditinggal borunya, ditinggal omak pula.
Perih aku kak, manakala kulihat bapak.
Sayup kudengar suara bapak bersenandung dari beranda:
Ai hodo boruku, boru panggoarani, Sai sahat dana dirohani
Ai hodo boruku, boru panggoarani, Sai sahat dana dirohani
“Kak, pulanglah. Bapak masihol”
Lirih dari seberang sana ia menjawab:
“Aku tak bisa pulang. Pria berseragam loreng itu membunuhku dek, membunuh jiwaku”
Aku diam untuk kemudian pecahlah tangisku.
Eka Situmorang – Pontianak 20 Jan 2009
***
- Bapak tua : Saudara laki – laki bapak yang lebih tua
- Namboru : Saudara perempuan bapak
- Amangboru : suami dari namboru
- Tulang : Saudara laki – laki omak
- Mangapuli : menghibur duka karena ada yang meninggal
- Boru siakangan : Anak perempuan pertama
- Mangoli : menikah
- Hela : menantu
- Ai hodo boruku, boru panggoarani: Kamulah putirku, anak perempuan yang membawa namaku
- Sai sahat dana dirohani: terkabullah apa yang kau cita – citakan
- Masihol : rindu
Ide cerita ini muncul ketika mendengar komentar teman (bukan keturunan batak) bahwa dalam keluarga batak, anak laki-laki mempunyai kasta yang lebih tinggi. Mungkin dulu iya. Tapi sekarang sepertinya tidak semua keluarga batak menganakemaskan laki-laki.
wadaw! batak dalam otak saya cuma bang tigor di sitkom suami-suami takut istri 😆
kalo cerita sampeyan itu kayaknya ndak cuma di batak, ortu manapun pasti sakit hati kalo merasa dikhianati anak, cariin psikolog dong mbak!
wess..paten kali ceritanya kak.. jadi pingin buat cerpen juga ne…!!!
Tapi kalo kita berbicara tentang hak laki-laki dan perempuan dalam keluarga batak, jelas yang mendapatkan porsi tertinggi pihak laki-laki (anak laki-laki). Apalagi itu sudah menjadi ketetapan adat batak.
Jadi kakak ga bisa donk, bilang di keluarga batak tidak lagi yang menganakemaskan laki2x. Kalau ada berarti dia orang batak yang tidak memegang adatnya (Tak beradat “kt orang batak”).
Hm.. tragis sekali si bapak.
Lumayan dapet kosakata batak.
Mang Kumlod sama dengan Amangboru kumlod dong… 😀
Wah top abis ni ceritanya. OK bisa tukeran link. Dah q psg di blog q. Thanks dah berkunjung..
cerpennya menarik..
Keep pot.
Bisa dijadikan buku kumpulan cerpen tuh 🙂
hahaha ekaaa…. gue jadi belajar istilah batak, secara laki gue juga batak
hihi tengkyu say 😀
ka…
kok ga porno lage cerita lo??? 😀
Cerita yang bagus. Tapi kenyataannya pria dewasa batak –apalagi parhuta-huta (di kampung)– jarang sekali ada yang menye-menye seperti itu kak. Hehe.
Kak, mau jadi kontributor di situmorang.net gag? Kalau mau email aku yah, nanti kubuatkan account.
Salam.
udah saya pasang link nya mbak
silahkan di cek
wah2 lmyn panjang nih mbak cerita nya, udah bs di jadiin cerpen hehe
Cerita yg menarik, mbaca post ini gw jadi nambah perbendaharaan kata dari batak. Thank’s ya, dah mampir di blogku. Kini giliranku.
bah…. batak kali cerita kau…
sampai pening pala nih kau buat :D…
tersentuh hatiku kak… 😦
tapi sedih juga, sebab aku yakin tak semua pria berseragam loreng itu jahat…
Turi-turian manang sitoho do on??
Ngelangut aku mbacanya.
Kalau ini fiksi, berarti dahsyat kamu, Ka.
seharusnya, bapak tidak hanya peduli pada boru siakangan, ada boru yang lain.
orang batak pya prinsip boru panggoaran, tp tidak megabaikan boru yang lain.
OK. GBU
hahahaha….kenapa ada namaku dan Duma di situ Mom’s eka. si Sihar khan dulu lama di jogja. Cerita yang menarik dan cukup akrab.