Menjelang pemilu, jalan – jalan ibu kota penuh sesak dengan atribut dan spanduk para anggota calon legislatif (caleg) yang menjual profil diri agar masyarakat mencontrengnya (saya tidak tahu apa kata dasar contreng ini sudah masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia atau belum, kalau ada yang tau boleh bantu saya?)
Awalnya saya tak ambil peduli dengan spanduk caleg – caleg itu. Karena saya memang sudah apatis dengan kiprah politisi di negara loh jinawi ini. Mulai dari partai yang mendengung-dengungkan perjuangan (padahal sudah merdeka), menyuarakan demokrasi (sementara ketua umumnya tertangkap basah-basahan dengan penyanyi dangdut), mengagungkan keadilan, suara kalbu, sampai partai yang menjunjung kaidah agama tertentu bagi landasan organisasinya. Duh ! Cukup !! Saya tetap tidak peduli. Janji mereka hanya manis di tiap awal kuartal untuk kemudian pahit dan getir yang saya (baca: masyarakat) terima berkuartal – kuartal waktu kemudian.
Namun disodori macam – macam spanduk ditengah kemacetan sepanjang jalan pergi pulang kantor, lambat laun spanduk – spanduk itu mulai mencuri perhatian. Sepengamatan saya mulai dari jalan Ngurah Rai dan Casablanca – karena itu lah rute ngantor saya dan suami – ada lebih dari 100 spanduk terpasang (Kebayang kan bosannya saya). Tapi itu belum seberapa, banyak bagian dari spanduk-spanduk tersebut agak menggelikan. Spanduk mereka nyaris seragam dengan foto diri caleg nyengir dan ada tulisan CONTRENG SAYA, hal ini menggugah nurani, apa para caleg itu tidak berkonsultasi dengan tim sukses mereka? Kalau sama dengan yang lain, bagaimana masyarakat bisa mengingat untuk mencontreng mereka? Bukankah untuk dapat menarik perhatian diperlukan suatu keunikan tertentu sehingga profil caleg itu dapat terekam di alam bawah sadar. Menyikapi tren kata – kata CONTRENG SAYA, muncul keprihatinan tersendiri. Sadar ndak sadar, masyarakat di bombardir dengan tampilan luar para caleg bukan tampilan hati dan pikirannya, padahal hati yang bersih dan pikiran yang lurus saja terkadang tak mampu menahan gempuran godaan ber-KKN ketika peluang itu nyata adanya di kemudian hari – apalagi Cuma tampilan luar, mampukah bertahan? (Tanya siapa)
Tidak mudah buat saya untuk memilih wakil rakyat karena saya tidak mau wakil yang saya pilih, dua tahun kemudian tertangkap tangan KPK di basement hotel mewah karena uang suap yang bernilai 30juta rupiah saja. Saya juga tidak mau, suara saya diwakili oleh aggota dewan yang kerjanya hanya bisa tertidur sampai ngiler atau bahkan mangkir dari rapat namun bersuara lantang meminta gaji dan tunjangan dinaikkan.
Anda bisa berkata saya skeptis cenderung menghakimi, tapi salahkah saya menjadi seorang skeptis sekaligus apatis kelas berat terhadap politisi kita bila sampai detik ini saya belum melihat banyak caleg yang mengedepankan visi, misi dan program jangka pendek, menengah atau panjang bagi masyarakat?
Salahkah?
Kalaupun ada caleg yang berbicara mengenai program kerjanya, entah mengapa kaca mata saya melihat itu seperti selubung tipis penutup kepentingan pribadi ataupun golongan tertentu. Padahal ini pesta rakyat bukan pesta golongan tapi yang didengung-dengungkan justru bukan kepentingan rakyat.
Aah sedihnya.
Eka Situmorang – Jakarta 3rd March 09
Capek yah. Jadi tak bisa lagi dibedakan yang baik dan yang ikut-ikutan. Efek samping generalisasi.
Itu setahun yang lalu, kini para calon2an itu sudah beragam pose gaya di spanduknya looh…
Ada yang nyengir kuda, ada yang malangkerik, ada pula yang berpose layaknya model sampul majalah anak muda.
Wuih wuih wuih…