Belajar dari Jalan Tol

Alarm di samping meja berdering keras. Suaranya nyaring melengking memecahkan hening pagi, senyaring bunyi kereta api di sunyinya sawah. Alarm sialan yang selalu dimaki tapi dalam hati dipuji sebagai dewa penyelamat dari keterlambatan. Hihi labil ya dimaki tapi juga dipuji. Alarm itu memaksa saya menyeret bokong dan mengawali rutinitas: menyiapkan sarapan, mandi menciumi suami lalu morning love, eh :mrgreen: kemudian loncat ke dalam mobil dan berpacu dengan kejamnya lalu lintas Jakarta.
Setiap hari begitu, well, hidup di Jakarta ya seperti itu kecuali jika dirimu sudah jadi bos besar dan punya usaha sendiri. Itu sih lain ceritanya, karena bisa mengatur ritme kerja sendiri tapi jika belum? Mari berkejaran dengan waktu ditengah himpitan macet Jakarta. Maklumlah komuter :D. Saya tinggal di pinggiran Jakarta dan memuja jalan tol yang lebih bisa diprediksi kepadatannya. Pagi itu, sampai di tengah-tengah jalan tol saya bimbang. Dua ratus meter lagi saya dihadapkan pada dua pilihan: meneruskan masuk tol dalam kota hingga dekat kantor atau keluar di Cawang dan menyambung jalan biasa saja. Secara logika, keluar dari tol cawang dan menyusuri jalan biasa adalah pilihan tepat, jalannya terlihat lengang dan lancar dibandingkan memasuki tol dalam kota yang dari jauh saja sudah menampakkan ekor kepadatannya. Beuh seperti antrian beras pada zaman perang saja.
Pilih mana?
Kalau kamu jadi saya akan pilih apa? Otak ini sih sudah mengatakan agar keluar tol saja namun entah kenapa insting berkeras memasuki tol dalam kota. Aiih, hai hati kecil, kenapa sih ngotot mau masuk tol segala? Sudah bayar, macet pula? Huh! Logika atau insting? Untuk beberapa saat saya bimbang. Tapi saya ini memang dibesarkan oleh insting, jadi walau otak sudah menginstruksikan agar tangan dan kaki banting setir keluar tol tetap saja mobil ini berada di lajur bayar tol. Mulailah saya mengantri, meringsek maju perlahan diantara ratusan kendaraan lain yang entah hendak kemana.
Setelah berhasil membayar tiket akhirnya saya memasuki tol dalam kota yang herannya… Lancar sulancar! Tadi saya tidak bisa melihat kondisi lalu lintas yang sebenarnya karena terhalang antrian bayar tol. Saya bengong, ini mobil mungil bisa dilarikan hingga 100km/jam, berbeda 180 derajat dengan saat mengantri yang bahkan siput saja bisa mengalahkan kecepatan mobil saya! Aih saya senang. Waktunya main kebut-kebutan 😀 haha. Namun tenggorokan saya tercekat ketika melirik jalan biasa: disana pamer paha! Hush jangan mikir macam-macam, Pamer paha tuh maksudnya Padat MERayap tanPA Harapan alias macet gilak.
God knows what's best for us
Kemudian saya berefleksi, kita ini kan manusia yang tak tahu masa depan. Cenderung mengandalkan apa yang dilihat oleh mata padahal bisa saja itu fatamorgana. Ah nampaknnya jalan A lebih bagus, lebih mulus. Ah nampaknya menikah sama si A itu lebih terjamin masa depannya karena ia anak pengusaha dengan mobil sederet dan bla bla. Lalu kita ngeyel, mengabaikan suara hati kecil yang sudah menjerit-jerit meminta putar haluan karena insting berkata kita salah alur. Tapi yang dilihat mata nampaknya memikat jadi tidak peduli pada rambu-rambu atau pertanda yang diberikan Sang Pencipta. Tanpa menyadari bahwa bisa saja jalan B ternyata lebih baik. Ya seperti jalan tol dan bukan tol tadi. Tuhan yang tau semuanya dan kita harus berserah padaNya. Lha otak segede bakpao ini mana bisa sih menandingi kebesaran Allah? Enggak kan..
Melewati jalan tol yang lengang saya bersyukur, tadi menuruti insting dan saya juga bersyukur karena memperoleh pelajaran baru. Dengarkan suara hati, perhatikan petunjuk Tuhan. Walau jalan hidup di depan mata terlihat tidak bagus, tetap percaya saja. Tuhan sudah punya cetak biru kehidupan kita dan pastinya rancangan yang baik serta rancangan damai sejahtera telah disiapkan untuk umat-Nya. 🙂

55 respons untuk ‘Belajar dari Jalan Tol

Add yours

  1. like this quotes –> “Walau jalan hidup di depan mata terlihat tidak bagus, tetap percaya saja. Tuhan sudah punya cetak biru kehidupan kita dan pastinya rancangan yang baik serta rancangan damai sejahtera telah disiapkan untuk umat-Nya.”

    semacam dengan “manusia hanya berencana, Tuhan yang menentukan..”

    dan, pelajaran itu bisa didapatkan setiap harinya. tinggal kitanya saja, yang menyadari itu bentuk dari perhatian dan pelajaran dari Tuhan, atau tidak sadar/tahu sama sekali. ^^

  2. betul sekali mba…sifat dasar manusia rata-rata ga sabaran, padahal sedikit saja melalui kerikil, maka jalan yang indah di depannya sudah menanti. Thanks atas sharing nya yang mencerahkan

  3. bener juga mbak reflektifnya.
    tapi saat suara hati bercampur emosi, maka akan jadi susah mendengarkannya. so, kita harus mengasah ‘pendengaran’ kita terhadap suara hati *cieee…
    hihihihihi

  4. Kalau saya selalu di ajarkan “NIkmatilah prosesnya.. Sesusah apapun jalannya, nikmati saja”.
    Kayak di TOL juga. Ketika di jalanan biasa macet dan memutuskan masuk ke TOL tiba2 macet juga, ya sudah, nikmati saja. Inilah Jakarta

  5. ah, posting ini tidak bisa dibaca sambil curi curi waktu jam kerja seperti sekarang, mending baca lagi entar malam sambil tiduran menjelang tidur, hihi

  6. Seperti ungkapan jangan melihat buku dari covernya yak mbak.. Cuma kalau covernya udah cantik dan manis pasti langsung tertarik dong.. Begitu pula jalan.. kalau dilihat kosong pasti mau dong.. Tapi aku juga gitu.. suka nyoba2 aja kali aja pas jalan lancar 😀

  7. Bener banget, kadang tol kalau udah macet bener-bener keterlaluan. Sy kapok masuk jakarta pagi hari di atas jam 7 via tol tangerang-tomang. Macet dan tidak ada pilihan lain. Kalau lewat jalan biasa kan bisa ngojek aja biar cepet. Di tol tidak ada ojek.

    Salam kenal. Sy suka dengan kalimat “saya percaya bahwa pasti selalu ada alasan yang bagus dibalik semua kejadian” di halaman Tentang EKA. 🙂

  8. hanya bisa berdoa..hehe
    jogja udah mulai macet nih kalau weekend..
    pertambahan kendaraan tidak sebanding dengan pertambahan dan pelebaran jalan..
    fiuuh nasib negara konsumtif..hahaha

  9. manusiawi ya jeng, kdg dlm perjalanan hidup srg menyesali atas apa yg sudah dipilih. tp balik lagi jika atas ketentuanNYA, bisa jadi pilihan yg disesali bakal menjadi berkah dunia dan akhirat,,spt memilih suamiku ini hihihihi

  10. Nice Mbak Eka,

    Seperti kata pepatah “Masa lalu adalah History, Saat ini adalah Hadiah, dan Masa Depan adalah Mystery”. So dijalani aja dengan baik. Keren abizz.

  11. Hi Ito, apa kabar?
    Pertentangan logika dan insting akan berlanjut terus sampai kapanpun. Adakalanya kita harus memilih logika, adakalanya insting lah yang harus dituruti. Apapun pilihanmu, jangan pernah menyesal. It’s your choice. Cobalah cari justifikasi, pembenaran atas pilihanmu, biar rasanya ngga terlalu nyesek. Misalkan ternyata lo ngambil jalan tidak berbayar dan lantas ngeliat ternyata yang di tol lancar jaya, anggap aja kena macet gini lo jadi bisa nyantai dengar radio sambil ngelanjutin dandan yang tadi belum selesai, dll…

    Salam

  12. Itulah kenapa aku gak jadi pindah ke Jakarta, aku gak mau stress di jalan. Aku gak mau stress mikirin waktu yg abis di jalan, dan stress-stres lainnya gara-gara macet.

    Mendingan tetep di Surabaya walau terpaksa harus LDR ❤

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Atas ↑

%d blogger menyukai ini: