Lasmi

Ketika kecil dulu, saya sering bergidik ngeri setiap tanggal 30 September. Nah, buat temen-temen yang seangkatan dengan saya, pasti tahu deh alasannya. Yak! Betul… Karena setiap tanggal 30 September, satu-satunya stasiun TV yang ada kala itu, memutarkan film pembantaian kejam 6 jenderal dan seorang kapten. Pada saat film diputar, biasanya mamak berpetuah bahwa saya tidak boleh terlibat dengan sembarang organisasi kepemudaan, serta tak jemu mengingatkan bahwa saya tidak boleh sembarang membubuhkan tanda tangan. Harus jeli, kritis dan mengerti betul setiap kali menandatangani sesuatu. Pikiran mungil saya kala itu bertanya, “kenapa?” Tapi mamak tak pernah mampu menjelaskan secara memuaskan, mamak hanya bilang agar saya menuruti kata-kata beliau. Namun, Sabtu lalu pertanyaan-pertanyaan di masa lalu (yang bahkan tidak saya temukan jawabnya di bangku sekolah) mendapat sedikit pencerahan dari sebuah Novel berjudul Lasmi.

Lasmi berkisah mengenai satu babak dalam sejarah kelam bangsa kita. Diceritakan dari sudut pandang seorang suami yang begitu mengasihi istrinya; perempuan dengan ideaslime tinggi yang secara sadar mencemplungkan diri sebagai kader Gerwani. Perempuan yang mempunyai cita-cita luhur memajukan pendidikan di desanya namun akhirnya (menurut saya) menjadi korban dari banyak hal kompleks yang sungguh tidak adil akibat idealismenya tersebut.

Awalnya, saya mengira akan disodori fakta-fakta sejarah yang kelam cenderung berat hingga membuat kening berkerut. Eh ternyata enggak lho, Lasmi begitu penuh kejutan. Novel ini tidak melulu mengisahkan situasi politik saat itu, namun juga menyuguhkan banyak pemikiran-pemikiran kritis perempuan yang dibalut dengan relasi suami-istri. Menjura. Selain itu juga banyak bercerita tentang pokok permasalahan yang ada di grass root. Tenang, novel ini tidak akan mencuci otak kita karena ia tidak memihak siapapun, sungguh netral. Lasmi bertutur runut apa yang ia alami tanpa menyudutkan siapapun pun atau mengajak pembaca untuk memihak. Tapi memang diakhir cerita, saya mampu mengambil kesimpulan sendiri. Mampu bergumam,”duh miris banget sih!”

Ditulis dengan bahasa yang ringan namun tetap lugas. Saya menyukai cara penulis yang sangat detil mendeskripsikan segala sesuatu, mulai dari kilapnya kayu jati di ruang tamu hingga ritual keramas, luluran dan mandi kembang yang melibatkan penjerangan air panas, tumbukan beras hingga campuran kunyit dan kembang kenanga. Sempat membuat saya sedikit bosan, tapi menjelang seperempat buku saya menyadari deskripsi yang begitu detil itulah yang menjadi kekuatan dari novel ini. Lasmi bertutur menggunakan bahasa yang sederhana, lekat dengan budaya Jawa. Tapi jangan kuatir, jika muncul istilah-istilah yang kurang lazim, ada semacam glossary di bagian bawah sehingga kita dapat terus menikmati alur novel tanpa harus bertanya-tanya apa sih artinya Senthir, Selapan, Gaden atau bahkan akronim-akronim buatan Presiden Sukarno dulu macam Nekolim, Ganefo, juga Jarek.

Saya harus berterima kasih kepada bapak Syafruddin Azhar yang telah memberikan buku ini 🙂 saya suka novelnya pak! Thank you so much. Lasmi ditulis oleh Ibu Nusya Kuswantin. Seorang penulis independen yang ikut membidani lahirnya harian Surya di Surabaya. Kagum. Itu yang muncul dikepala selesai saya menamatkan Lasmi selama kurang-lebih 3 jam. Ah, jika ada kesempatan, semoga saja saya bisa berjumpa dengan beliau. Pengen deh ngobrol-ngobrol dikit. Iya, saya tahu novel ini bergenre fiksi, tapi harus saya akui bahwa saya mendapatkan banyak pencerahan. Mungkin karena ini kali pertama saya membaca suatu novel tentang Gerakan 30 September yang diceritakan dari kacamata masyarakat bukan versi pemerintah yang selama ini saya tahu.

Katanya bercita-cita luhur, trus kenapa masuk Gerwani? Kenapa bukan organisasi yang lain? Idealisme macam apa yang dimiliki Lasmi hingga membuatnya masuk Gerwani? Apakah Lasmi mati? Bagaimana nasib suaminya? Keluarganya? Kalau penasaran sama ceritanya. Sila buku ini dibaca. Mampu memperkaya wawasan dengan buaian kalimat bernas. 🙂

Iklan

43 respons untuk ‘Lasmi

Add yours

  1. Sebetulnya banyak novel atau kumpulan Cerpen yg mengisahkan para perempuan yg di-PKI-kan (maksudnya belum tentu ia PKI, mungkin salah tangkap karena berada di waktu dan tempat yg salah), salah satunya “Undangan Menari” yg ditulis kawan2 muda di Jogja, memang kita pasti miris karena imbas salah tangkap itu dirasakan sampai sekarang bahkan bukan hanya yg bersangkutan yg mengalami tapi juga anak cucunya.

  2. Aku selalu suka novel2 fiksi berlatar belakang sejarah termasuk sejarah G 30 S yang memang masih kabur itu…

    Sesampainya di Indonesia untuk berlibur, nanti aku beli ah!

  3. “branding” oleh orba membuat gerwani seakan-akan salah karena menjadi bagian dari PKI.

    padahal, nyatanya masyarakat pun memiliki pilihan dan pengertiannya sendiri untuk kondisi yang lebih baik.. seperti Lasmi itu

  4. untung aja jaman skr ga diputer film tu ya…sebenarnya tujuan film itu diputar ya untuk tujuan politis pada dasarnya krn kitapun kurang tahu knp pihak yg membantai jenderal pada waktu itu digerakkan oleh seseorang atau bukan, tp yg pasti motipnya kurang lebih politis. Saya belum baca neh, coba ntr dicari deh ditoko buku..hehe. tengkyu…

  5. Saya belum membaca Lasmi, tapi pernah membaca trilogi bagus yang ditulis Ahmad Tohari, yaitu “Ronggeng Dukuh Paruk”, (dua yang lain lupa judulnya … 😀 ). Trilogi ini menceritakan tentang Srintil, ronggeng desa yang karena arus kehidupan, terseret menjadi Gerwani. Kisahnya sangat bagus, dan tentu saja, sama seperti Lasmi : miris …

  6. Ulasan yang mengena dan inspiring… semoga pembacaan ini menjadi inspirasi bagi kita semua, baik yang belum membaca novel “Lasmi” ini maupun yang telah membacanya.
    Hidup ini tak diundung duka bila kita semua menghayatinya…

    Salam Lasmi…

  7. yak! saya jadi penasaran 😀
    tapi novel ronggeng dukuh paruk pun belum sempat saya baca :((
    berbicara tentang perempuan dan PKI, saya jadi ingat tentang film dokumenter pendek yang dibuat oleh adik saya, berkisah tentang perempuan yang dituduh sebagai PKI. kapan-kapan saya share setelah saya tonton.
    *iyaa saya belum nonton film adik saya*
    :((

  8. well…sebenernya aku sudah lama pengen beli buku ini mbak, apa daya kalo mo beli ya kudu nunggu jalan2 ke Pekanbaru atau jakarta. Atau kalo ndak mo repot biasanya aku beli buku online 😀

    nanti tak coba2 cari deh bukunya…

  9. Ada novel berbahasa Inggeris (kalo tidak salah judulnya ….Merdeka …. gitu), mengambil setting cerita di sekitar 30 September 1965. Awalnya saya kira semacam buku catatan di sekitar periode itu, tapi ternyata novel …. Saya pertama lihat di toko buku di Changi, tapi di Surabaya belum pernah lihat.
    Lasmi ?, belum pernah lihat bukunya….

  10. tiap ingat “PKI” selalu ingat jargon “Darah itu merah jendral”, film benar2 ampuh dalam menyampaikan pesan. entah pesan itu baik atau buruk, benar atau salah.

  11. waah, mesti buru2 ke toko buku nih 😀
    makasih infonya mbak 😀

    saya suka juga Rangsang Detik-nya Klara Akustia, atau AS Dharta atau Endang Rodji yg beliau ini adalah ketua Lekra pada jamannya.

  12. Selamat sore, Sahabat …
    Apa kabar? Semoga tetap berada dalam lindungan Yang Maha Kuasa … Amin

    Denuzz mau kasih kabar nih, Burung Hantu udah pindah sarang …
    Datang berkunjung ya, Sahabat …

    Semoga persahabatan kita tiada lekang oleh waktu dan tiada terbatas oleh ruang

  13. iya tuh….diriku sebenernya sangat penasaran dengan ceita sesungguhnya….cz katanya yg film itu direkayasa…..

    pengen cari bukunya…… ^_^

  14. Novelnya memang menarik…dan yang diceritakan sebetulnya sudah diperhalus. Kedaan sebenarnya sering lebih kejam.
    Saya ingat saat kecil, para bapak tidur di kantor, karena kawatir difitnah (saat itu banyak fitnah bertebaran, dan tanpa diperiksa udah diciduk…istilah saat itu), jadi ayah tak pernah tidur di rumah.

    Malam-malam suka serem, tetanggaku belakang rumah diciduk….tangisannya tergiang sampai beberapa tahun kemudian. Di daerah lebih serem Eka…sungai banyak mayat bergelimpangan, dijadikan rakit.

  15. kayanya tu buku menarik bngt ya…..kebetulan gue suka bngt sama sejarah apalagi mengenai PKI selalu terngiang2 dg kata2 “darah itu merah jenderal”……………………..

  16. novel yg bagus 🙂 btw mengenai peristiwa G30 s PKI tersebut baru-baru ini ada pengungkapan fakta yang mengatakan jika peristiwa penyiksaan pada para jenderal versi orde baru adalah tidak benar, intinya dilebih2kan dengan tujuan agar masyarakat percaya akan kekejaman luarbiasa yg dilakukan oleh pki 🙂 itu dibuktikan dengan surat hasil otopsi yg dilakukan oleh dokter yg memeriksa pd waktu itu…tapi entahlah klu bicara sejarah memang kita tidak bisa memastikan mana yg benar, semoga aja sejarah2 lain bukan rekayasa ya hehe

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Atas ↑

%d blogger menyukai ini: