Pilihan yang Sulit

Dari kemarin udah ngomongin yang seru-seru mulai dari liburan sampe kulineran. Gimana kalau sekarang ngomongin yang agak serius dulu gitu? Soal bikin pilihan yang sulit, yang sering dihadapi banyak pasangan muda dan bikin nyut-nyut kepala. Hehe.

Punya rumah tuh impian semua orang deh dan udah kayak jadi salah satu syarat sebelum mutusin buat menikah. Apalagi di negara kita (tercinta) yang hampir semuanya milih untuk punya rumah sendiri dibanding ngontrak. Lebih-lebih lagi di negara (kayak Negara kita ini, ihiks) yang memusingkan kebanggaan status sosial dan lebih mementingkan omongan tetangga. Jadinya perayaan pernikahan besar dan cincin berlian mewah kayak jadi syarat utama buat cowok waktu ngelamar cewek.

Sebuah survey menarik dilakukan untuk mencari tahu sepenting apakah budget pernikahan dibandingkan kebutuhan tempat tinggal. Survey yang melibatkan 1000 responden tersebut dilakukan untuk mencari tahu seberapa besar pengaruh pembelian properti pada suatu hubungan. Nyaris semua ngomong kalau beli rumah pribadi bisa memperkuat hubungan. (Wooow!). Menurut survey ituh, setengah dari para perempuan rela buat memilih uang tabungan mereka dipake buat bayar rumah dibanding untuk beli cincin atau pesta yang mahal. Bahkan lebih dari 17 persennya udah ngelakuin hal itu. Sementara 60 persen respon dari survey lanjutan berkata jika mereka rela melupakan honeymoon untuk menjadikan budget tersebut sebagai pembayaran uang DP rumah, dengan 16 persennya yang telah melakukannya.

"Jadi, kamu mau punya rumah atau pesta gede-gedean? Kalo maunya pesta, nanti kita berteduh di bawah pohon pisang aja yaaa," todong Adrian pas pacaran :D
“Jadi, kamu mau punya rumah atau pesta gede-gedean? Kalo maunya pesta, nanti kita berteduh di bawah pohon pisang aja yaaa,” todong Adrian pas pacaran 😀

Disimpulkan kalau tigaperempat pasangan lebih sulit untuk memutuskan pemilihan lokasi dibanding harga ataupun luas. Juga, hal tersulit selanjutnya adalah memutuskan mana barang yang ingin disimpan atau dibuang, dibanding dengan keputusan finansial, dekorasi, dan surat-surat. Cukup penting kalau lebih dari 60 persen berpendapat kalau faktor keamanan adalah yang terpenting dalam pemilihan lokasi. Tapi survey tersebut dilakukan di negara maju yang pikiran masyarakatnya tidak terlalu dipusingkan dengan status sosial seseorang. Pertanyaannya, itu berlaku juga buat di Indonesia nggak ya? 😀

Konsep yang Berbeda

Ada hal yang saling bertolak belakang soal pandangan pernikahan antara di negara maju dan di negara berkembang. Titik berat pernikahan di negara maju hanya pada hubungan 2 individu yang bersatu, hanya hubungan antara si suami dan si istri saja yang jadi hal paling penting dalam suatu pernikahan. Tingkat kesibukan kota yang tinggi menciptakan konsep individualis. Di Dalam budaya kita, tujuan pernikahan adalah menambah keturunan sekaligus menyatukan 2 keluarga. Maka wajar saja kalau pasangan yang telah lama menikah namun belum dikaruniai oleh anak akan terus dicecar oleh banyak pihak dan menjadi omongan. Been there done that 😦 Ihiks.

Kedua pandangan tersebut saling memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Sebagai contoh, di negara maju yang konsep pernikahannya lebih mementingkan hubungan pribadi kedua belah pihak, maka kehadiran sosok seorang anak nggak terlalu penting. Disini juga kedudukan wanita dan pria disejajarkan sehingga timbul ‘mindset’ wanita yang merasa tidak membutuhkan sosok seorang pria. Ditambah lagi, setelah berumur 18 tahun maka sang anak pun biasanya lebih memilih untuk tinggal sendiri dan lepas dari orang tua. Jangan kaget kalau waktu makan keluarga bersama di restoran pun orang tua dan anak membayar tagihannya masing-masing. Disini orang tua tidak lagi bertanggung jawab untuk kebutuhan anak dan juga sebaliknya. Sudah menjadi pemandangan yang biasa di negara Barat untuk pensiunan yang berumur diatas 70 tinggal sendiri tanpa penjagaan dan bepergian sendiri dengan menggunakan transportasi umum. Bahkan kebanyakan sudah menggunakan alat bantu karena sudah sulit untuk berjalan sendiri. Di sisi baiknya, mereka tidak terlalu memusingkan pendapat atau omongan orang lain, hanya pendapat dan hubungan pasangan yang terpenting.

Sebaliknya di dunia Timur, karena sebuah perceraian adalah aib, maka banyak pernikahan dipertahankan hanya buat jaga martabat. Pernikahan terus dipaksakan walau padahal di dalamnya banyak terjadi ketidakcocokan, perselingkuhan, atau kekerasan rumah tangga. Dunia kita juga memiliki pandangan kalau kebutuhan anak adalah selalu tanggung jawab orang tua, sampai seberapa tuapun anak kita.

Mencari Titik Tengahnya

Tentunya menjadi pilihan yang sulit bagi kita ketika memikirkan kalau pesta pernikahan kita akan diingat orang sebagai biasa-biasa saja, atau bahkan berkesan minim. Muka keluarga secara tidak langsung dipertaruhkan sebagai gengsi dalam merayakan pernikahan anaknya. Di sisi lain, terasa tidaklah bijak jika semua budget dihabiskan untuk sebuah pesta mewah, dimana kebutuhan lainnya terutama papan lebih penting dan menjadi pusat utama kehidupan di kemudian hari.

"Jadi lebih milih punya rumah dari pada pesta? Bener nggak gengsi?" Adrian terus-terusan menggoda padahal saya udah kasih tau jawabannya :D
“Jadi lebih milih punya rumah dari pada pesta? Bener nggak gengsi?” Adrian terus-terusan menggoda padahal saya udah kasih tau jawabannya 😀

Riset, riset, riset – ada baiknya untuk melakukan riset jauh jauh hari dan sebanyak-banyaknya melalui online maupun offline, yang termahal belum tentu yang terbaik, begitu juga yang murah belum tentu jelek. Persaingan ketat dalam bisnis pernikahan membuat para vendor banting harga untuk memenangkan persaingan. Untuk itu, kerahkan semua koneksi – tanyalah kepada teman atau kerabat yang pernah menikah jika mereka bisa menyarankan yang terbaik dari pengalaman. Potonglah biaya yang tidak penting dan buat skala prioritas – mulai dari dokumentasi, dekor, gedung pesta, maupun katering buatlah skala prioritas dan alokasikan budget yang ada sesuai itu.

Memang terkadang omongan orang membuat telinga terasa gatal dan muka menjadi panas, tapi tidak semuanya harus dipertimbangkan. Toh mereka juga tidak membiayai pernikahan dan hidup kita toh?

Bagaimana dengan Cobat CE, relakah hal terbesar sekali seumur hidup untuk dipestakan secara biasa-biasa saja demi DP rumah?

 

61 respons untuk ‘Pilihan yang Sulit

Add yours

  1. Secara udah dilangkahin 2x sm adek2, jd orangtuaku ga pengen aku nikah sederhana. Ga mewah jg sih apalg klo dibanding nikahan adek2ku. Buatku, itung2 semcm perpisahan sm kluarga n tmn dkt.
    Trus, skarang udah punya rmh? Ya belom hahahhaa harga rmh dsini yampon mahal bgt 🙈 doain biar cpt nemu rmh yg cocok ya…

  2. ada atau tidaknya rumah tetep ga tertarik pesta mewah sih, merasa sayang uangnya dan ribet juga urus pesta yg gede hihi
    kalo rumah memang udah kebutuhan utama skrg kak, harga property di jkt makin gila2an.. aku cm mikirnya kalo stlh nikah masih ngontrak, lalu saat punya anak, biaya sekolah n kebutuhan anak kn besar bngt.. bisa2 ga sanggup bayar kontrakan terus diusir *amitamit*
    itulah alasan lebih baik punya rumah dulu sblm nikah hehe

  3. kalau di masyarakat kita mungkin ada turut campur kedua orang tua ya mbak ,jadi gak bisa memutuskan berdua aja. Mbak Eka maaf aku baru bisa bw lagi nih. nanti aku baca rapel ya postingannya

  4. Kalau kata para tetua kita, dahulukan kebutuhan dari keinginan. Memiliki rumah adalah kebutuhan, pesta mewah adalah keinginan.. 🙂

  5. Gw mau pesta di rumah, hehe.
    Anyway, kalau harus milih 1, gw milih pesta ah karena ga niat langsung punya anak dan ada rencana pindah2 lagi juga.

  6. Bener juga ya mbak Eka, di budaya kita anak udah sampe beranak 3 juga kadang masih diurusin orangtuanya, jadi kesannya dimanja. Mungkin karena orangtua terlalu sayang kali yaaa. Kalo aku pengennya pesta nikah kayak syukuran, makan-makan, kenduri, udah gitu aja. yang penting niat untuk kumpul-kumpul dan jalinan silaturahim dengan 2 keluarga dan handai taulan-nya sampai. Sisa duitnya buat DP rumah, ihihihihiiiii…

  7. Waktu nikah ga mewah2 karena sayang uangnyaaa!!! Eh karena budget terbatas juga sih. Ya..daripada dikejar utang setelah nikah, ya ga?!
    Makanya waktu itu menebalkan muka dan telinga karena banyak yg nanya “Koq ga ngundang2 sih?”
    Soal pemilihan rumah, kebetulan belakangan lagi disibukkin dengan pencarian rumah. ternyata susah bener ya bow cari rumah yg sesuai dari segi budget dan keinginan.
    Kapan2 sharing dong pengalamanmu soal pencarian rumah 🙂

      1. Menarik sihh untuk di bahas apalagi. Pernah ketemu sama teman yg dari eropa bilang, kalo org indonesia khususnya banyakin dulu uangnya sebagai warisan untuk keturuan. Org sana bilang, banyakin dl uangnya kemudian travelling deh. Karna pengalaman tidak bisa dibeli. So, tetap kembali ke diri masing2. Gue sih milih kalo bisa dua2nya. #manusia selalu mau yg enak saja :d#

  8. wah pengalamanku bgt tuh mba eka…waktu nikah bener2 nebelin kuping n hati dari orang2 yang nanya “ko ga ngundang2 sih??” krn nikahnya bener2 sederhana dan cuma ngundang sodara & temen deket aja hehehe…tapi alhamdulillah keinginan buat pnya rumah sendiri setelah nikah sudah terwujud 🙂

  9. aku pengennya yang biasa2 aja mba..pesta sederhana juga gapapa..toh resepsi pernikahan itu kan masalah gengsi. lagian gak mau nanti setelah nikah malah jadi kere dan utang dimana2 buat nutupin pinjeman uang untuk resepsi mewah heheh..mending buat DP rumah hehehe…
    yaa moga2 aja dapet camer yang pengertian 🙂

  10. dulu kepengennya nikahan tanpa resepsi, cukup akad dan makan2 aja
    tapi yaaaa gimana lagi, saya dan suami sama2 anak pertama, kenalan ortu banyak, budaya masyarakat juga, yawda nurut saja
    tapi ya gak mewah2 amat sih mbak pestanya, standar aja hehe
    pdhl kepengennya, uang resepsi buat beli rumah juga… moga2 suatu hari keturutan beli rumah sendiri deh aamiin 🙂

  11. Berhubung gw ma ai anak rantau jadi jelas rumah jadi prioritas utama.. Skrg lagi nyiapin pernikahan semua budget ditekan 😀 Intinya murah tapi ga murahan..hehe 😀 Dannn Puji Tuhan banget dapat free tix dan hotel ut honeymoon..hehehe 😀

Tinggalkan Balasan ke Ceritaeka Batalkan balasan

Blog di WordPress.com.

Atas ↑